Kamis, 01 Oktober 2009

सुम्बेर दया आलम PAPUA

Provinsi ini sangat kaya dengan berbagai potensi sumberdaya alam. Sektor pertambangannya sudah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% perekonomian Papua, dengan tembaga, emas, minyak dan gas menempati posisi dapat memberikan kontribusi ekonomi itu. Di bidang pertambangan, provinsi ini memiliki potensi 2,5 miliar ton batuan biji emas dan tembaga, semuanya terdapat di wilayah konsesi Freeport. Di samping itu, masih terdapat beberapa potensi tambang lain seperti batu bara berjumlah 6,3 juta ton, barn gamping di atas areal seluas 190.000 ha, pasir kuarsa seluas 75 ha dengan potensi hasil 21,5 juta ton, lempung sebanyak 1,2 jura ton, marmer sebanyak 350 juta ton, granit sebanyak 125 juta ton dan hasil tambang lainnya seperti pasir besi, nikel dan krom.

Karena 90% dari daratan Papua adalah hutan, produk unggulan pun banyak lahir dari belantara yang dipadati lebih dari 1.000 spesies tanaman. Lebih dari 150 varientas di hutan itu merupakan tanaman komersial. Hutan di Papua mencapai 3l.079.185,77 ha, terdiri atas hutan konservasi seluas 6.436.923,05 ha (20,71%), hutan lindung 7.475.821,50 ha (24,05%), hutan produksi tetap 8.171606,57 ha (26,3 %), hutan produksi terbatas 1.816.319 ha (5,84%), dan hutan yang dapat dikonversi 6.354.726 ha (20,45%). Ditambah areal penggunaan lainnya 821.787,91 ha (2,64%). Hutan hutan di provinsi ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan asli daerah, Contoh, sebanyak 323.987m3, kayu bangunan/timber sebanyak 1.714 m3, kayu balok olahan/block board sebanyak 1.198 m3, triplek/plywood sebanyak 88.050 m3 dan kayu olahan/chips sejumlah 45.289 m3.

Di sektor perkebunan, dari 5.459.225 ha lahan yang ada, tak kurang dari 160.547 ha sudah dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat (PR) maupun perkebunan besar (PB), tenaga kerja dengan total produksi 62.153 ton. Komoditas unggulan pada 2005 dengan total produksi 12.347 ton (19,87%), sawit dengan produksi 31.021 ton (49,91%), kakao dengan produksi 11.363 ton (18.28%), kopi Arabic produksi 2.583 ton (4.16%), buah merah dengan produksi 1.889 ton (3,04%) dan karet dengan total produksi 1.458 ton (2,35%). Pada 2005 kayu mencapai 20.711 ton dan Jayapura dengan produksi 2.444 ton pada 2005. produksi sayur mayur selama 2005 hanya mencapai 13,99 ton, menurun dibandingkan dengan 2004 yang mencapai 25,78 ton.

Provinsi ini memiliki lahansawah beririgasi teknis seluas 3.845 ha pada 2006, beririgasi nonteknis 3.696 ha. Total saluran irigasi primer mencapai 1.984 km, irigasi sekunder 23,45 km sementara irigasi tersier 4,25 km. Sawah sawah tersebut dapat menghasilkan 61.922 ton padi, meningkat dibanding dua tahun terakhir mencapai 61.750 ton. Pada saat Panen Raya Padi di Merauke, padatanggal 5 April 2006, Presiden berharap bahwa: ”Merauke menjadi sentara pertumbuhan baru, bukan hanya untuk padi, tetapi juga untuk sektor lainnya”. Presiden berpesan, ... ”ketika terjadi pertumbuhan sawah, pertumbuhan tebu, pertumbuhan kelapa sawit, nantinya pendidikan dan lain lain, tenaga kerja dan lain-lain, tolong sekali lagi diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraan penduduk asli sehingga betul-betuk kesetaraan yang baik, dengan demikian dapat meningkatkan persaudaraan dan harmoni diantara semua warga yang ada di daerah ini”.

Di sektor perikanan, memiliki kekayaan yang kurang besar di sepanjang 1.170 mil garis pantai yang dipenuhi ribuan pulau pulau kecil. Provinsi ini memiliki terumbu karang terkaya dan terbaik di dunia. Hutan bakau terluas dan terbaik di dunia, dengan berbagai jenis ikan mulai dari pelagis besar, kecil, kerapu, udang, teripang, kerang, dan lain lain. Potensi lestari perikanan Papua sebesar 1.404.220 ton per tahun, dengan produksi tahun 2005 mencapai 209.210,3 ton, meningkat 13,29% dibanding produksi 2004 yang hanya mencapai 180.612,4 ton. Dari produksi perikanan, 95,83% merupakan hasil produksi perikanan laut dengan nilai produksi selama 2005 mencapai Rp. 2.215 miliar atau menurun 44,86% banding 2004 yang mencapai Rp 2.451 miliar.

Populasi ternak besar dan kecil selama tahun 2005 umumnya naik. Ternak kerbau pada 2005 naik 14,54% dari 1.131 ekor pada 2004 menjadi 1.292 ekor pada tahun 2006, sementara ternak kuda dari 1.576 ekor pada 2004 menjadi 1.501 ekor pada 2005 lalu meningkat menjadi 2.061 ekor pada 2006. Kenaikan persentase dialami ternak sapi (8,6%), kambing (5,37%) dan babi (19,50%). Populasi ternak kecil, antara lain ini kampung naik 18,99%, ayam pedaging naik 90% dan ayam ras petelur meningkat 19,58%.

PERTANIAN

Potensi pertanian di wilayah Irian Jaya (Papua); sekurang-kurangnya dapat diketahui dari luas arealnya. Berdasarkan data yang ada, luas arel sawah dan bukan sawah di Papua, mencapai sekitar 42.198.100 ha atau sekitar 12 % dari seluruh luas areal di Papua. Bagian yang bukan sawah antara lain terdiri dari pekarangan, tegalan, kebun, padang rumput, tambak, kolam, lahan tidur, dan perkebunan (baik negara maupun swasta).

PERTAMBANGAN

Potensi Sumber Daya Mineral

Potensi sumberdaya mineral dan energi di Provinsi Papua telah dikenal luas oleh masyarakat international sebelum perang dunia kedua. Pada awalnya minyak bumi merupakan komoditas yang paling menarik untuk dieksploitasi. Seorang geologist yang bernama J.J Dozy dalam ekspedisinya pada tahun 1936 Pegunungan Tengah dalam upaya pencarian minyak bumi, menemukan sebuah bukit berbentuk seperti gigi setinggi 131 yang kaya akan unsur tembaga. Kemudian ia mengambil sampel untuk di kirim ke Universitas Leiden di Belanda. J.J Dozy menamakan bukit tersebut Erstberg yang artinya Gunung Bijih. Pada tahun 1960 publikasi J.J Dozy tersebut dibaca oleh Fobes Wilson dari Freeport Sulphur Co dan menindaklanjutinya dengan meninjau bukit tersebut. la. Kemudian berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, maka pada tanggal 7 April 1967 ditandatanganilah Perjanjian Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran Inc. Freeport mempunyai hak ekslusif untuk mengelola daerah konsensi 10 x 10 Km2 atau seluas 100 km2 di sekitar Ertsberg. Sejak saat itulah pertambangan modern dimulai di Provinsi Papua.

Pada bulan Desember 1967 dimulailah pemboran untuk melakukan studi kelayakan. Studi ini selesai 2 tahun kemudian atau pada tahun 1969. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan tahap kontruksi pada 1969 – 1972. Pada tahun 1972 dimulailah pengapalan konsentrat tembaga untuk pertama kalinya ke Hibi Jepang, sejak saat itu mulailah Provinsi Papua menjadi pengekspor konsentrat tembaga. Produksi Freeport pada saat itu baru mencapai 8.000 ton bijih/hari, kemudian meningkat menjadi 18.000 ton bijih/hari.

Selama tahun 1967 – 1988, Freeport menemukan sejumlah endapan tembaga dalam skala kecil seperti Gunung Bijih Timur, Intermediate Ore Zone (IOZ); Deep Ore zone (DOZ); DOM. Kemudian Pada tahun 1988 Freeport menemukan adanya cebakan endapan tembaga dan emas dengan kadar yang cukup ekonomis dengan cadangan lebih dari 400 MT yang merupakan endapan tunggal tembaga terbesar. Untuk mengembangkan potensi tersebut diperlukan investasi yang cukup besar, sehingga diperlukan adanya jaminan perpanjangan kontrak karya. Maka pada 30 Desember 1996 ditandatanganilah perpanjangan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia dengan membaginya menjadi 2 blok, yaitu blok A yang merupakan daerah kontrak karya lama, dan blok B seluas 1,9 juta ha untuk Blok B.

Keberhasilah Freeport menemukan sejumlah cadangan endapan tembaga di daerah konsensinya dan adanya kesamaan sejarah geologinya dengan Papua New Guinea (terdapat 13 Perusahaan tambang yang sudah berproduksi); kemudian memicu perusahaan lain untuk menanamkan modalnya di Provinsi Papua. Oleh karena itu tidak heran jika mulai dari 1996 terjadi “booming” investasi pertambangan di Papua. Hingga akhir tahun 2000 paling tidak terdapat 22 perusahaan kontrak karya, 5 perusahaan Kuasa Pertambangan dan 3 perusahaan di bidang pengusahaan batubara melakukan eksplorasi di Provinsi Papua .

Dalam UU No. 11 tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, investasi asing di bidang pertambangan umum dilakukan melalui penerapan sistem Kontrak Karya (KK); yaitu perjanjian antara pemerintah dengan investor yang berbadan hukum Indonesia, dimana pemerintah bertindak sebagai pihak pemilik (principal) sedangkan perusahaan pertambangan bertindak sebagai kontraktor. Perjanjian kontrak karya secara khusus memberi hak tunggal kepada investor untuk melakukan penelitian sumberdaya mineral yang terkandung dalam wilayah kontrak karya, dan kemudian menambang, mengolah dan memasarkan endapan mineral yang ditemukan. Hak tunggal ini diberikan sebagai konsekuensi atas kesediaan menanggung resiko atas pelaksanaan kegiatan eksplorasi dimana resiko kegagalannya sangat tinggi, disamping pemenuhan pembayaran pajak dan kewajiban lainnya yang disebutkan dalam Kontrak Karya.

Dalam melaksanakan operasinya, pemegang Kontrak Karya mempunyai hak kendali dan manajemen tunggal atas semua kegiatannya, termasuk mempekerjakan sub kontraktor untuk melaksanakan tahap-tahap operasinya. Pemegang Kontrak Karya juga mempunyai kewajiban seperti menanam modal, membayar pajak dan pungutan-pungutan lain, kewajiban mengikuti standar pertambangan yang ditetapkan pemerintah, kewajiban melaksanakan peraturan lingkungan hidup, dan kewajiban melaksanakan standar keselamatan kerja dan kesehatan.

Jika diperhatikan maka di masa lalu, semua keputusan mengenai pengusahaan pertambangan selalu dilakukan di Jakarta atau oleh Pemerintah Pusat. Peranan Pemerintah Daerah pada saat itu hampir tidak ada. Hal ini menimbulkan adanya ketidak adilan di dalam pembagian hasil dari pengusahaan sumber daya mineral tersebut. Padahal apabila kita cermati, hampir semua akibat yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas tersebut dipikul seluruhnya oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat yang ada di sekitar lokasi penambangan. Hal ini sering menimbulkan konflik sosial dan ketidakstabilan keamanan di sekitar lokasi kegiatan tambang. Dengan adanya UU Otonomi daerah dan UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Provinsi Papua untuk membuat kebijakan yang lebih adil, baik bagi masyarakat pemilik hak ulayat, pemerintah daerah maupun bagi perusahaan itu sendiri. Era konsep pertambangan barupun dimulai di Provinsi Papua. Pada saat ini tercatat 11 wilayah KP baru telah diberikan oleh Gubernur Provinsi Papua dengan total luas 355.000 Ha, umumnya untuk bahan galian emas dan batubara. Iuran penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, penjualan dibayar kepada Pemerintah Daerah (berbeda dengan sebelumnya dibayarkan pada Pemerintah Pusat); seterusnya pembagian perimbangan keuangan akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

Status Pertambangan Umum Di Provinsi Papua Era Otonomi Khusus

Sampai dengan akhir tahun 1999 di Provinsi Papua tercatat sebanyak 24 Wilayah Kontrak Karya (KK) dan 3 Wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) serta 4 Wilayah Kuasa Pertambangan (KP). Berhubung krisis multi dimensi yang terjadi secara nasional, tampaknya mempengaruhi pertumbuhan iklim investasi pertambangan umum di Provinsi Papua. Kondisi bahkan menyebabkan investasi pertambangan umum hingga tahun 2000 terhenti. Pada tahun 2001 sebanyak 17 wilayah KK dan KP masih tersisa dalam tahap penyelidikan umum/ eksplorasi dengan status suspensi (penundaan kegiatan sementara) dan 1 perusahaan eksploitasi ( PT. Freeport Indonesia ).

Sejak tahun 2002 investasi di bidang pertambangan umum mulai giat kembali dengan tidak memberlakukan izin pertambangan dalam bentuk wilayah KK seperti sebelumnya. Perizinan yang diberlakukan adalah KP yang nampaknya lebih menarik. Dalam bentuk KK dan PKP2B selalu lebih mudah menimbulkan ketidak puasan di kalangan masyarakat. Hal itu disebabkan karena seluruh tahap kegiatan pertambangan mulai dari tahap penyelidikan umum, eksplorasi sampai tahap penambangan, pengolahan dan penjualan yang memerlukan waktu puluhan tahun telah ditetapkan/disepakati sebelum kegiatan dimulai. Pengusahaan dalam bentuk KP lebih sesuai, karena pengusahaannya ditetapkan/ ditentukan per tahap kegiatan. Dengan demikian akan lebih mengikuti perkembangan keinginan masyarakat sekitar pertambangan.

Pembinaan pertambangan dilakukan kepada pengusaha pertambangan terutama pertambangan rakyat, maupun perorangan guna memperoleh data produksi, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja para penambang. Kegiatan pembinaan dimaksudkan pula untuk pemberdayaan ekonomi rakyat di bidang pertambangan umum. Dari itu telah dilakukan pembinaan yang meliputi aspek penyuluhan dan pengawasan kepada masyarakat penambang yang memiliki izin ataupun tanpa izin.

Kepada masyarakat / perorangan pemilik hak ulayat bahan galian golongan C maupun bahan galian emas diberikan bantuan peralatan teknik pertambangan yang dapat dikelola oleh kelompok masyarakat ataupun perorangan pemilik bahan galian. Tercatat dalam era Otsus telah diberikan bantuan peralatan teknik berupa palong (sluice box) yaitu berupa alat pencuci / pemisah butiran emas dan peralatan dulang, mesin pencetak batu tela, mesin pemecah batu (stone crusher) ukuran sedang dan dapat dipindah-pindahkan untuk dikelola oleh kelompok masyarakat atau perorangan pemilik hak wulayat bahan galian industri.

Persyaratan perizinan pertambangan bahan galian golongan C seperti penyusunan dokumen UKL/UPL dan pengukuran wilayah pertambangan yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat/perorangan karena memerlukan keakhlian dan dana yang cukup besar, telah pula diberikan bantuan teknis untuk penyusunan dokumen UKL/UPL dan peta wilayah pertambangan. Dengan demikian kesempatan berusaha di bidang pertambangan umum pada era Otsus lebih terbuka bagi masyarakat /perorangan.

Pengawasan produksi pertambangan untuk kepentingan konservasi bahan galian dilakukan terutama pada produksi penambangan dan produksi konsentrat tembaga dan emas yang dikapalkan dari tambang PT. Freeport Indonesia di kabupaten Mimika, dengan maksud memaksimalkan produksi bijih dan produksi konsentrat yang dikapalkan. Produksi bahan galian C bervariasi dari pengusahaan berizin dan tak berizin. Untuk meminimalkan kerusakan lingkungan akibat penambangan bahan galian C dianjurkan kepada pemakai untuk tidak membeli/memakai dari penambangan tidak berizin.

Pertambangan emas tanpa izin oleh masyarakat/perorangan setempat untuk menopang kehidupan hari-hari dapat diterima tetapi bagaimana dengan retribusi/pajak bagi pemerintah yang merupakan bagiannya sebagai penjamin kehidupan keseluruhan?

Guna mendorong pertumbuhan investasi di bidang pertambangan umum diberikan pelayanan izin yang mudah, cepat, biaya iuran yang relative kecil, menyebar luaskan informasi potensi sumberdaya mineral di Papua. Pelayanan perizinan pertambangan umum yang dilakukan mengacu kepada Keputusan Gubernur Provinsi Papua No. 104 Tahun 2002 tanggal 6 Agustus 2002 Tentang Tata Cara Pemberian Kuasa Pertambangan Umum di Provinsi Papua sampai ada ketentuan lain. Sampai dengan awal Nopember 2004 @ (Data BPDE Provinsi Papua 2001 - 2007)

KEHUTANAN

Total potensi hutan di Papua meskipun secara fisik cukup besar namun kurang ekonomis karena potensi per hektarnya sangat rendah yaitu 35 m³/ha untuk jenis komersial dan 61 m³/ha untuk semua jenis. Selain potensinya sangat rendah, sebagian besar kayunya terdiri dari jenis-jenis yang belum dikenal dipasaran (belum komersial); keadaan topografinya sangat berat dan pada sebagian besar wilayahnya tidak terdapat sungai yang dapat dijadikan sarana angkutan sehingga biaya eksploitasinya menjadi sangat tinggi. Sebagai perbandingan terhadap daerah lain potensi rata-rata per hektar tertinggi di Kalimantan yaitu 84 m³/ha (komersial) dan 90 m³/ha (semua jenis) disusul Sumatera yaitu 64 m³/ha (komersial) dan 79 m³/ha (semua jenis) dan Sulawesi untuk komersial dan semua jenis berturut-turut 44 m³/ha.

Pengelolaan hutan produksi lestari memerlukan perencanaan yang disusun berdasarkan pada kondisi potensi hutan yang ada. Dengan demikian perhitungan potensi hutan bersama-sama dengan perhitungan kawasan hutan mempunyai peran yang sangat vital dalam perencanaan pengelolaan hutan produksi.

Jenis-jenis hasil hutan kayu yang dimanfaatkan dikelompokkan; Kelompok Meranti terdiri dari; Matoa (Pometia spp.); Merbau (Instia spp.); Mersawa (Anisoptera spp.); Kenari (Canarium spp.); Nyatoh (Palaquium spp.); Resak (Vatica spp.); Pulai (Alstonia spp.); Damar (Agathis spp.); Araucaria (Araucaria spp.); Kapur (Dryobalanops spp.); Batu (Shorea spp.); Mangga hutan (Mangifera spp.); Celthis (Celthis spp.); dan Kayu Cina (Podocarpus spp.). Kelompok Kayu Campuran terdiri dari; Ketapang, Binuang, Bintangur, Terentang, Bipa, Kayu Bugis, Cempaka, Pala hutan. Kelompok Kayu Indah terdiri dari jenis; Dahu (Dracontomelon spp.); Linggua (Pterocarpus spp.); dan Kuku. Potensi kayu ini sudah dimanfaatkan/diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan industri pengolahan kayu. (Selengkapnya : http://kehutanan.papua.go.id)

Rabu, 30 September 2009

Stop Eksploitasi Papua : 65 Perusahaan Mendapat Konsesi 14,4 Juta Hektar

Versi Cetak Versi CetakJakarta, Kompas - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan lembaga masyarakat adat Papua mempertanyakan manfaat langsung eksploitasi hutan di sana. Bahkan, mereka menyerukan penghentian eksploitasi hutan.

Eksploitasi itu meliputi konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit maupun HPH. ”Puluhan tahun hutan adat kami dieksploitasi, namun tak memberi kesejahteraan kepada warga kami,” kata Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi Jhohanis Gifelem dalam seminar ”Selamatkan Manusia dan Hutan Papua” yang diadakan Perkumpulan Telapak di Jakarta, Senin (23/6). Pertemuan diadakan selama dua hari dan diharapkan tersusun rekomendasi kebijakan sebagai masukan pembangunan Papua.

Di wilayah adat Malamoi, setidaknya ada dua perkebunan kelapa sawit selain eksploitasi kayu. Kini hutan alam, yang secara turun-temurun menjadi sumber kehidupan, telah menjadi sumber petaka, yakni banjir dan longsor. Karena itu, mereka meminta pemerintah mencabut izin penebangan kayu dan perkebunan kelapa sawit. Mereka meminta pendampingan pengelolaan hutan secara mandiri. Permintaan serupa dikatakan Ketua LMA Biak Mananuir Yan Pieter Yarangga. Di Biak, hutan dibuka sejak masa Belanda hingga sekarang.

”Daya dukung hutan sudah terlewati sehingga kami membutuhkan sikap tegas pemerintah menghentikan pembukaan hutan,” ujarnya. Dia mengatakan, masuknya investasi skala besar di Papua telah merusak struktur masyarakat adat dan cara pandang mereka terhadap hutan.

Sebagian besar warga asli Papua, yang masih melakukan budaya meramu, membutuhkan pendampingan khusus. ”Jangan bicara manis-manis, tetapi pembantaian jalan terus,” kata Yarangga.

Terus dibuka

Dari data Forum Kerja Sama (Foker) LSM Papua tahun 2006, ada 65 perusahaan HPH di Papua dengan luas konsesi 14,4 juta hektar (ha). Namun, hanya 15 HPH yang masih aktif.

Dari data Dinas Kehutanan Provinsi Papua, luas kawasan hutan dan perairan Papua 40,4 juta ha, 9,8 juta ha di antaranya hutan lindung. Hutan Papua dibagi menjadi tujuh zona industri perkayuan, rata-rata produksi diproyeksikan sekitar 1 juta m3 per tahun. Izin pertambangan 4,93 juta ha dikeluarkan di kawasan hutan lindung.

Data terakhir kependudukan Papua menunjukkan, sebanyak 391.767 keluarga (81 persen) dari total 480.578 keluarga di Papua tergolong miskin. ”Data ini menunjukkan bagaimana dampak eksploitasi sumber daya alam Papua bagi warganya,” kata Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua Septer Manufandu.

Sekitar 4 juta ha lahan telah disiapkan bagi belasan perusahaan perkebunan skala besar, 300.000 ha di antaranya kebun kelapa sawit.

Pengampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, mengatakan, ancaman keutuhan hutan Papua bukan hanya dari pengambilan kayu dan kelapa sawit, namun juga rencana pembukaan jalan raya dengan pamrih kayu dan pemekaran daerah.

”Kami meneliti bahwa 2.500 kilometer jalur trans-Papua Barat yang akan dibangun itu melintasi kawasan merbau. Itu memang tukar kayu,” kata Bustar. (GSA)

Sumber : Kompas.com, Selasa, 24 Juni 2008

Jumat, 11 September 2009

Kehutanan merupakan sektor non migas yang memberikan kontribusi ekonomi terbesar di Papua Barat. Luas hutan dan perairannya adalah 9.769.686,91 ha. Di sektor kehutanan, alokasi fungsi hutan terbagi atas hutan lindung seluas 1.819.267 ha, hutan suaka alam dan pelestarian alam seluas 1.885.323 ha hutan produksi terap seluas 1.435.640 hal hutan produksi terbatas seluas 1.046.529 ha, hutan yang dapat dikonversi seluas 2.500.432 ha dan hutan lainnya seluas 327.909 ha.

Sedangkan lahan non sawah di antaranya ladang/tegalan seluas 340.275 ha, perkebunan seluas 125.135 ha, permukiman seluas 121.403 ha, usaha lain seluas 332.688 ha, danau/telaga seluas 4.531 ha, dan ranah tandus/ranah rusak alias tidak diusahakan seluas 82.197 ha. Pada 2005, di provinsi ini beroperasi 25 perusahaan pemegang IUPHHK/HPH yang berlokasi di delapan kabupaten (Fakfak, Kaimana, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, danTeluk Wondama) dengan dominasi lokasi operasi di Kabupaten Kaimana dan Teluk Bintuni. Total areal pengusahaan hutan (HPH) di provinsi ini pada 2005 seluas 3.545.400 ha. Di bidang Industri primer hasil hutan, di provinsi ini bergerak di perusahaan, Dari jumlah itu, tiga perusahaan beroperasi dengan skala di atas 6.000 m³/tahun dan dengan skala di bawah 6.000 m³/tahun sebanyak 15 perusahaan. Produk kayu olahan yang dihasilkan adalah chip wood, plywood, block board, dan sawmill.

Pada sektor pertanian, tahun 2006 tercatat luas areal panen 9.663 ha, jumlah produksi gabah kering giling 34.157 ton, produksi beras giling 32.497 ton, dengan demikian rata-rata produktivitasnya 3.368 ton/ha. Untuk komoditas jagung tahun 2006 tercatat luas areal panen 4.046 ha dengan jumlah produksi 5.052 ton dan rata-rata produksi 139 ton, Sedangkan untuk komoditas kedelai, pada 2006 tercatat luas areal panen 9.884 ha dengan jumlah produksi 11.811 ton dan rata-rata produksi 12 ton.

Di sektor perikanan dan kelautan, sejak 2005 tengah dibangun pangkalan pendaratan ikan (PPI) di Kabupaten Sorong,Teluk Wondama, dan Kabupaten Raja Ampat. Juga tengah dikembangkan perikanan budidaya seperti budidaya teripang di Kabupaten Teluk Wondama dan Fakfak; budidaya ikan terapu di Kabupaten Sorong; budidaya rimput laut di Kabupaten Raja Ampat; budidaya kepiting di Kabupaten Kaimana dan pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II).

Produksi perikanan di provinsi ini berorientasiekspor, mencakup udang, tuna/cakalang, pelagis, demersal, ikan campur dan hasil olahan. Daerah produksi perikanan laut di provinsi ini adalah Kota Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Fakfak, dan Kabupaten Raja Ampat. Nilai ekspor produksi perikanan tahun 2005 sebesar Rp 116.708.593.523,-.

Di sektor peternakan, pada 2006 tercatat populasi sapi potong berjumlah 29.126 ekor, jumlah pemotongan per tahun 30.167 ekor, produksi daging sapi 657 ton/tahun dan rata-rata kepemilikan 4 ekor. Ternak kecil berupa kambing dengan jumlah produksi 18.144 ekor dan jumlah populasi 100,98 ton/tahun dan babi sebanyak 35.977 ekor dengan jumlah produksi 571,96 ton/tahun. Lalu unggas meliputi ayam buras dengan jumlah populasi 534.845 ekor, ayam petelur sebanyak 367.243 ekor/tahun dengan jumlah produksi telur sebanyak 289,67 ton/tahun dan jumlah peternak 35.000 peternak serta rata-rata kepemilikan per peternak 10 ekor/kk, ayam ras pedaging sebanyak 465.765 ekor/tahun dengan jumlah produksi telor sebanyak 33.587 ton/tahun dan jumlah peternak 55.211 peternak serta rata-rata kepemilikan per peternak 80 ekor/kk, itik sebanyak 94.511 ekor/tahun dengan jumlah produksi telur sebanyak 23.251 ton/tahun dan jumlah peternak 409,33 butir/tahun serta rata-rata kepemilikan per peternak 4 ekor/kk.

Sementara itu untuk sektor perkebunan, komoditas unggulannya antara lain kelapa sawit, kakao, kelapa dalam, kopi, pala, cengkeh, jambu mete dan pinang. Selain potensi yang telah disebutkan di atas arah pemerintah Provinsi Papua Barat telah mencoba mengembangkan potensi pertambangannya melalui kebijakan umum bidang pertambangan dan energi dengan titik berat pada bidang minyak dan gas bumi, geologi dan sumber daya mineral, kelistrikan dan pemanfaatan energi serta bidang lingkungan hidup. Dalam tahun anggaran 2005, dilaksanakan beberapa kegiatan di bidang geologi dan air bawah tanah, pembinaan usaha pertambangan umum, serta prasarana kelistrikan dan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan energi.

Sumber: Indonesia Tanah Airku (2007)

KEKAYAAN ALAM PAPUA

Provinsi ini sangat kaya dengan berbagai potensi sumberdaya alam. Sektor pertambangannya sudah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% perekonomian Papua, dengan tembaga, emas, minyak dan gas menempati posisi dapat memberikan kontribusi ekonomi itu. Di bidang pertambangan, provinsi ini memiliki potensi 2,5 miliar ton batuan biji emas dan tembaga, semuanya terdapat di wilayah konsesi Freeport. Di samping itu, masih terdapat beberapa potensi tambang lain seperti batu bara berjumlah 6,3 juta ton, barn gamping di atas areal seluas 190.000 ha, pasir kuarsa seluas 75 ha dengan potensi hasil 21,5 juta ton, lempung sebanyak 1,2 jura ton, marmer sebanyak 350 juta ton, granit sebanyak 125 juta ton dan hasil tambang lainnya seperti pasir besi, nikel dan krom.

Karena 90% dari daratan Papua adalah hutan, produk unggulan pun banyak lahir dari belantara yang dipadati lebih dari 1.000 spesies tanaman. Lebih dari 150 varientas di hutan itu merupakan tanaman komersial. Hutan di Papua mencapai 3l.079.185,77 ha, terdiri atas hutan konservasi seluas 6.436.923,05 ha (20,71%), hutan lindung 7.475.821,50 ha (24,05%), hutan produksi tetap 8.171606,57 ha (26,3 %), hutan produksi terbatas 1.816.319 ha (5,84%), dan hutan yang dapat dikonversi 6.354.726 ha (20,45%). Ditambah areal penggunaan lainnya 821.787,91 ha (2,64%). Hutan hutan di provinsi ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan asli daerah, Contoh, sebanyak 323.987m3, kayu bangunan/timber sebanyak 1.714 m3, kayu balok olahan/block board sebanyak 1.198 m3, triplek/plywood sebanyak 88.050 m3 dan kayu olahan/chips sejumlah 45.289 m3.

Di sektor perkebunan, dari 5.459.225 ha lahan yang ada, tak kurang dari 160.547 ha sudah dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat (PR) maupun perkebunan besar (PB), tenaga kerja dengan total produksi 62.153 ton. Komoditas unggulan pada 2005 dengan total produksi 12.347 ton (19,87%), sawit dengan produksi 31.021 ton (49,91%), kakao dengan produksi 11.363 ton (18.28%), kopi Arabic produksi 2.583 ton (4.16%), buah merah dengan produksi 1.889 ton (3,04%) dan karet dengan total produksi 1.458 ton (2,35%). Pada 2005 kayu mencapai 20.711 ton dan Jayapura dengan produksi 2.444 ton pada 2005. produksi sayur mayur selama 2005 hanya mencapai 13,99 ton, menurun dibandingkan dengan 2004 yang mencapai 25,78 ton.

Provinsi ini memiliki lahansawah beririgasi teknis seluas 3.845 ha pada 2006, beririgasi nonteknis 3.696 ha. Total saluran irigasi primer mencapai 1.984 km, irigasi sekunder 23,45 km sementara irigasi tersier 4,25 km. Sawah sawah tersebut dapat menghasilkan 61.922 ton padi, meningkat dibanding dua tahun terakhir mencapai 61.750 ton. Pada saat Panen Raya Padi di Merauke, padatanggal 5 April 2006, Presiden berharap bahwa: ”Merauke menjadi sentara pertumbuhan baru, bukan hanya untuk padi, tetapi juga untuk sektor lainnya”. Presiden berpesan, ... ”ketika terjadi pertumbuhan sawah, pertumbuhan tebu, pertumbuhan kelapa sawit, nantinya pendidikan dan lain lain, tenaga kerja dan lain-lain, tolong sekali lagi diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraan penduduk asli sehingga betul-betuk kesetaraan yang baik, dengan demikian dapat meningkatkan persaudaraan dan harmoni diantara semua warga yang ada di daerah ini”.

Di sektor perikanan, memiliki kekayaan yang kurang besar di sepanjang 1.170 mil garis pantai yang dipenuhi ribuan pulau pulau kecil. Provinsi ini memiliki terumbu karang terkaya dan terbaik di dunia. Hutan bakau terluas dan terbaik di dunia, dengan berbagai jenis ikan mulai dari pelagis besar, kecil, kerapu, udang, teripang, kerang, dan lain lain. Potensi lestari perikanan Papua sebesar 1.404.220 ton per tahun, dengan produksi tahun 2005 mencapai 209.210,3 ton, meningkat 13,29% dibanding produksi 2004 yang hanya mencapai 180.612,4 ton. Dari produksi perikanan, 95,83% merupakan hasil produksi perikanan laut dengan nilai produksi selama 2005 mencapai Rp. 2.215 miliar atau menurun 44,86% banding 2004 yang mencapai Rp 2.451 miliar.

Populasi ternak besar dan kecil selama tahun 2005 umumnya naik. Ternak kerbau pada 2005 naik 14,54% dari 1.131 ekor pada 2004 menjadi 1.292 ekor pada tahun 2006, sementara ternak kuda dari 1.576 ekor pada 2004 menjadi 1.501 ekor pada 2005 lalu meningkat menjadi 2.061 ekor pada 2006. Kenaikan persentase dialami ternak sapi (8,6%), kambing (5,37%) dan babi (19,50%). Populasi ternak kecil, antara lain ini kampung naik 18,99%, ayam pedaging naik 90% dan ayam ras petelur meningkat 19,58%.

Sumber: Indonesia Tanah Airku (2007)
Powered By Blogger

Pengikut